MAKALAH
OKSIDENTALISME
Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas METODOLOGI STUDI ISLAM
Dosen pengampu : Dr.
Zakiyudin, M.Ag.
Disusun oleh :
1. Bachrin : 111-11-190
JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGRI
SALATIGA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Dunia Islam berada dalam zaman
keemasannya sebagai pusat peradaban dunia selama tujuh abad, yaitu sejak abad
ke-7 sampai abad ke-12. Zaman keemasan ini ditandai dengan antara lain:
kemajuan dibidang Ilmu pengetahuan, filsafat dan arsitektur serta keberhasilan
dalam memperluas wilayahnya sampai ke Italia dan Spanyol. Kemudian, Italia dan
Sepanyol menjadi pusat peradaban Islam di bagian Barat.
Tulisan ini akan menelaah secara
akademis gagasan hanafi tentang Oksidentalisme. Ketertarikan atas kajian ini
karena kebaruan atas diskursus Oksidentalisme dalam khasanah pemikiran Islam
dan munculnya beberapa komentar yang meragukan terhadap ide tersebut yang
dianggap sekedar reaksi emosional.
1. Rumusan
masalah
a. Pengertian
Oksidentalisme
b. Urgensi
Oksidentalisme terhadap Pembaharuan Islam
2. Tujuan
penulisan
a. Untuk
mengetahui pengertian Oksidentalisme
b. Dan
urgensi Oksidentalisme terhadap
pembaruan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Oksidentalisme
Oksidentalisme sebagai dijelaskan dalam “the world University Encyclopedia” berasal
dari kata occident yang secara
etimologi berarti barat, dan secara geografis adalah belahan bumi bagian barat.
Berpijak dari makna etimologi
diatas, Oksidentalisme yang terdiri dari kata “ occident” (barat) dan “ism” (paham atau aliran) menunjukkan pada
suatu paham atau aliran yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan
dengan dunia barat; baik budaya, Ilmu dan aspek sosial lainya.
A.Mukti Ali mengartikan Oksidentalisme adalah
teori-teori dan ilmu tentang agama, kebudayaan dan peradaban barat.[1]
Selanjutnaya Hanafi mengatakan bahwa Oksidentalisme
adalah kebalikan dan lawan dari Orientalisme. Jika objek kajian Orientalisme
adalah timur, dan lebih khususnya lagi adalah Islam, maka dalam Oksidentalisme
yang menjadi objek kajianya adalah Barat. ini berarti, Hanafi melakukan
pembalikan paradigma subjek-subjek dalam Orientalisme, yaitu Timur sebagai
subyek dan barat sebagai objeknya.
·
Kelahiran
Oksidentalisme
Pada abad 17 sampai dengan abad 18 M. Adalah masa
kemunduran bagi dunia Islam. Disintegrasi kekuasaan Islam, hilangnya
rasionalisme dan mengentalnya sufisme dalam kehidupan masyarakat Islam
merupakan fenomena yang menggenjala dan sekaligus sebagai pertanda bagi
kemunduran Islam. Sebaliknya, dunia barat sedang mencapai prestasi di bidang
sains dan teknologi.
Sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan dan
melepaskan dari cengkraman koloni Barat, dunia Islam, terutama Mesir dan Turki
mempelajari kemajuan-kemajuan Barat baik di bidang sains dan teknologi.
untuk itu, beberapa delegasi dan pelajar dikirim ke
Barat untuk belajar.[2]
Sekitar dua abad Islam berguru terhadap orang barat dalam berbagai hal, namun hal
itu belum bisa mengantarkan dunia Islam kepada kemajuan yang diharapkan.
Sementara studi tentang pemikiran atau filsafat Barat masih terlalu prematur,
sehingga studi tersebut belum memuaskan dan memberi konstribusi bagi khasanah
Intelektual Islam. Ketidakpuasan kajian tesebut, setidaknya dapat dilihat dari
dua faktor. Pertama, kajian yang ada
masih sarat dengan bias dan subjektifitas. Kedua,
kajian yang lebih sekadar promosi peradaban orang lain yang kering dari
kritisisme.
Setelah dilakukan kajian ulang atau penelanjangan terhadap orientalisme, ia
tidak lagi menjadi subjek studi yang menarik. Dampak lainya adalah para
pengkaji ketimuaran merasa tidak senang jika disebut orientalisme, tetapi
mereka lebih senang disebut, misalnya “Egyptolog”,
atau “Islamolog”.
Dengan demikian, orientalisme yang dulunya merupakan
kajian yang banyak diminati dan mempunyai metode sendiri, sekarang berubah
menjadi objek kajian, yaitu setelah tersingkapnya keburukan-keburukan
orientalisme.
Dalam perkembangan selanjutnya, kajian terhadap
orientalisme mengilhami studi lanjut akan budaya barat, yang dilihat dari sudut
pandang dan prespektif “selain Barat”.
Kajian inilah yang disebut oksidentalisme.
Perbedaan oksidentalisme dengan kajian kebaratan sebelumya, seperti studi
area atau budaya adalah terletak pada penekanan yang diberikan yaitu faktor
subjektifitas timur dalam membaca dan mengkaji Barat.
·
Akar sejarah
oksidentalisme
Hanfi adalah seorang ahli pikir yang menguasai tradisi
keilmuan Islam klasik dan tradisi keilmuan barat penguasanya tersebut membuat
mampu melakukan pembaruan yang komprehensif. Baginya pembaruan dalam Islam,
tidak bisa lepas ,dari keberlaluan masa lampau Islam. Disamping itu pembaruan
dalam Islam, juga tidak bisa menafikkan keberadaan barat, yang sudah menjadi
fenomena perilaku dan pemikiran di dunia Islam.
Barat yang telah hadir di tengah-tengah kehidupan
umat Islam dengan berbagai prodaknya membawa dampak positif dan negatif. Dampak
negatif itu kemudian menjadi problem bagi kemajuan dunia Islam yang perlu
disikapi. Oksidentalisme digagas sebagai bentuk respon terhadap problem berupa
tantangan modernitas.
Menurut Hanafi oksidentalisme yang dibangunya
mempunyai akar sejarah dalam khasanah keilmuan Islam. karena hubungan antara dunia Islam dan Barat tidak
hanya terjadi pada abad modern, melainkan telah dimulai sejak 12 abad yang
silam. Hal itu terjadi ketika ulama’ berhadapan khususnya dengan filsafat
Yunani.[3]
Studi oksidentalisme ketika Islam berada pada puncak
kejayaanya dan sebagai pusat peradaban dunia. Pada awalnya,
umat Islam lebih bersikap pasif dalam mengkaji budaya dan pemikiran yunani.
Kajian dalam fase ini, ditekankan hanya untuk mengetahui pemikiran-pemikiran
tersebut kemudian dialihbahasakan secara tekstual kedalam bahasa Arab, tanpa
melakukan kajian lebih kritis lagi. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi dilakukanya
penerjemahan secara tekstual, antara lain; untuk menjaga keaslian bahasa,
keterbatasan bahasa Arab dalam memahami tema-tema baru yang tidak dijumpai
sebelumnya, dan bangun logika yang belum dimilki oleh umat Islam ketika itu.
Karenanya, fase ini disebut dengan dengan masa terjemahan tekstual.
Menginjak
fase selanjutnya, umat Islam tidak lagi menerjemahkan pemikiran Yunani
secara tekstual, tetapi secara kontekstual. Artinya upaya tranformasi pemikiran
Yunani kedalam Islam lebih ditekankan pada makna yang dikandungnya. banyaknya
kosa kata Arab tentang istilah-istalah asing yang dikenalnya, dan semakin
pahamnya ulama Islam tentang filsafat Yunani memungkinkan bagi mereka untuk
mentransfer pemikiran Yunani secara kontekstual. Pada fase ini istilah-istilah
asing diupayakan untuk diganti dengan istilah-istilah Arab, sehingga bahasa
Arab semakin kaya akan istilah-istilah filsafat.
Setelah melalui dua tahap di atas, para ulama Islam
dalam mengkaji mulai memberi komentar dan penjelasan terhadap teks-teks yang
ada. Ini berarti meningkat setingkat tataranya, dari penerjemah menjadi
komentator (syarikh).
Fase selanjutnya ulama Islam melakukan kajian
filsafat secara tematik, yaitu mengkaji beberapa subjek yang dianggap penting
untuk disusun dalam suatu karaya, tahapan ini disebut fase peringkasan (talkhish).
2.
Urgensi
Oksidentalisme Terhadap Pembaruan Islam
a. Pembaruan
Islam dalam perspektif Hanafi
Istilah
pembaruan Islam dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa Arab tajdid dan dalam bahasa inggris sering
diterjemahkan dengan modernism[4].
Tajdid secara bahasa biasa dipahami ”memperbarui”.
Dalam
perkembangan selanjutnya pengertian tentang pembaruan mengalami perkembangan
dan perubahan. Berikut ini akan dikedepankan tiga model pembaruan dalam sejarah
pemikiran Islam yang masing-masing mempunyai konsep yang berada.
pertama,
pembaruan
dipahami sebagai upaya untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) tradisi di masa Rasulullah dan masa sahabat.[5]
Ini berarti pembaruan dilakukan atas dasar otoritas ajaran (shalat) dan
nilai-nilai tradisional.
Kedua,
pembaruan
diartikan sebagai upaya untuk memperbarui pemahaman terhadap agama yang lama
yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Upaya ini dilakukan dengan
memasukkan unsur-unsur baru tanpa merusak bangunan dan inti dari pemahaman yang
lama.
Ketiga,
pembaruan
diartikan sebagai upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Munculnya ide pembaruan tersebut dlatarbelakangi oleh beberapa faktor
antara lain: pertama, keinginan untuk menstranfer keinginan prestasi
Eropa ke dunia Islam. Kedua, masuknya berbagai paham yang berkembang di
Barat ke dunia Islam. Ketiga, adanya
respon dari pemikir Islam terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Corak ketiga konsep pembaruan diatas sama-sama mengacu
pada upaya tercapainya kemajuan pada dunia Islam serta sama-sama berpijak pada
Islam. Adapun perbedaan makna pembaruan dikarenakan adanya sudut pandang yang
beragam dalam melihat persoalan umat Islam pada satu sisi dan pada sisi yang
lain dikarenakan pendekatan yang berbeda dalam memahami Islam, diantaranya ada
yang menggunakan pendekatan tekstual dan ada yang menggunakan pendekatan
kontekstual serta adapula yang menggunakan pendekatan tekstual dan kontekstual
secara bersamaan.
Berpijak pada persoalan tersebut
proyek pembaruan Hanafi dirumuskan sebagai jawaban dan modus vivendinya. Pembaruan dari tema pertama dapat diartikan
menafsirkan kembali khasanah pemikiran klasik yang tidak sesuai dengan tuntutan realitas kontemporer umat Islam. pengertian
pembaruan untuk tema yang kedua adalah melakukan kajian terhadap barat dalam
berbagai hal dari sudut pandang timur. Adapaun untuk tema ketiga, pembaruan
dapat diartikan sebagai upaya penafsiran kembali terhadap realita – menyatunya
tradisi Islam dan tradisi barat – umat Islam dewasa ini. Demikian pembaruan
dalam perspektif Hanafi dapat disarikan sebagai upaya rekontruksi terhadap
tradisi Islam dan tradisi Barat yang telah menyatu dan menjadi konstruk
kehidupan yang sedang berlangsung.
b. Urgensi
oksidentalisme terhadap pembaruan islam
Oksidentalisme bagian tak
terpisahkan dari proyek pembaruan Islam, karenanya perwujudan oksidentalisme sebagai
disiplin ilmu yang melakukan kajian terhadap barat secara akademis dan kritis,
merupakan suatu keniscayaan. Suatu proyek pembaruan Islam yang menafikan perlunya
sikap kritis dalam melihat modernitas Barat dalam bentuk apapun, berarti ia
tidak utuh dan komprehensif, dan karenaya ia akan mengalami kegagalan. Karena
itu pokok pembahasan ini punya relevansi dalam rangka melihat urgensitas
pemikiran Hanafi tentang oksidentalisme terhadap pembaruan Islam.
1. Oksidentalisme
vs westernisme
Westernisasi[6]
sebagai mana dijelaskan dalam salah satu sumber adalah upaya yang dilakukan
pihak barat untuk meleburkan bangsa-bangsa non-Barat, lebih khusus lagi dunia
Islam kedalam peradapan Barat.
Westernisasi secara etimologi dapat
dimaknai sebagai alienasi, yaitu berubahnya ego menjadi orang lain. Menurut
Hanafi, Oksidentalisme dapat dijadikan filter untuk mengahadapi serangan westernisasi
yang sudah meluas wilayah jangkauanya, tidak saja terbatas dalam kehidupan seni
dan budaya, melainkan ia sudah masuk dalam tatacara kehidupan sehari-hari.
2. Oksidentalisme
vs Eurosentrisme
Gerakan westernisasi yang dilakukan
sejak masa imperialisme hingga sekarang merupakan ambisi Barat Untuk menjadikan
dirinya sebagai pusat peradaban dunia. Ambisi realisasi itu mengakibatkan rasa
superior barat yang tetap berkeinginan untuk tetap mempertahankan dominasi atas
bangsa-bangsa non-Barat.
Dalam konteks ini, oksidentalisme
dalam kajianya tentang kebaratan dapat dijadikan sebagai tameng bagi masuknya
dunia Barat. Bahkan lebih dari itu, proyek oksidentalisme adalah bertujuan
untuk mengembalikan budaya Barat kepada batas-batas daerah jangkaunya yang
wajar, karena selama ini budaya Barat telah keluar dari batasan teritorialnya,
baik itu lewat usaha kolonialisme, sarana informasi yang canggih, maupun
pusat-pusat penerangan dan riset yang terbesar dikenyakan Negeri.
3. Oksidentalisme:
antitesis Orientalisme
Oksidentalisme dalam diskursus
pengetahuan ilmu masih relatif baru, dibanding dengan orientalisme yang telah
hadir tiga abad lalu. Oleh karena itu, cukup beralasan jika dikatan bahwa
kelahiran oksidentalisme sebagai antitesa orientalisme dan dibangun atas dasar
logika analog baik secara ontologis maupun aksiologis. Hal ini sebagai
tergambar dari penjelasan Hanafi, jika orientalisme melihat ego (timur) melalui the other, maka oksidentalisme melihat the other dari kacamata ego.
Urgensi lain dari oksidentalisme
adalah untuk menghilangkan rasa Inferior umat Islam pada satu sisi dan pada
superior Barat disisi lain. Umat Islam selama empat abad menjadi objek studi
Barat, karenanya lahir rasa inferior, sementara Barat sebagai subjek studi
telah melahirkan rasa superior. Bermula dari rasa rendah diri umat Islam
dihadapan Barat, mereka dalam melakaukan pembaruan senantiasa menggunakan
paradigma Barat. Dengan kata lain transformasi pemikiran Barat ke dunia Islam
tidak dilakukan secara selektif dan kritis.
BABIII
PENUTUP
1.
kesimpulan
Oksidentalisme (paham atau aliran)
menunjukkan pada suatu paham atau aliran yang berkaitan dengan segala sesuatu
yang berhubungan dengan dunia barat; baik budaya, Ilmu dan aspek sosial lainya.
Dalam pandangan penulis, studi kebaratan yang mencakup berbagai aspek seperti:
studi sejarah, filsafat, budaya, aliran modern dan sebagainya secara umum akan
dapat memberikan konstribusiyang amat besar dan berharga dalam pengembangan
ilmu-ilmu Islam. Hal ini sebagai ditunjukkan pada masa klasik di mana berbagai
ilmu baru lahir dan berkembang. Bahkan Islam sendiri telah mendorong umatnya
untuk menggunakan akal dan menelaah secara kritis berbagai disiplin ilmu tanpa
terikat oleh batasan geografis, bangsa dan ikatan agama.
2.
Penutup
Di akhir tulisan ini penulis
berharap, bahwa studi tentang kebaratan atau oksidentalisme dikalangan umat
Islam dapat dikembangkan. Hal ini jtentu haraus didukung oleh adanya akses yang
kuat terhadap peradapan Barat modern. Disamping itu, seorang pengkaji Barat
atau oksidentalis dituntut pula untuk bersikap objektif dalam melakukan studi
kebaratan
Demikian
makalah yang dapat penulis buat, tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu penulis menerima kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun makalah yang penulis buat agar kedepanya penulis lebih baik lagi
dalam membuat makalah. Semoga makalah ini dapat menambah sedikit wawasan bagi
pembaca.
Wassalamu’alaikum
wr. Wb.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Kastolani,
Dari orientalisme ke oksidentalisme, Salatiga,
cetakan pertama, januari 2009.
[1] A. Mukti
Ali, Ilmu Perbandingan Agama di
Nindonesia, (Bandung, Mizan, 1992), hlm. 45.
[2] Syyed Hoesan
Nasr, Menjelajah Dunia modern, (bandung:
Mizan, 1994), hlm. 125.
[3]Hasan
Hanafi,Al-Muqaddimat,op, cit, hlm.
44.
[4]
Modernisme di Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usahauntuk
merubah faham-faham, adat istiadat,
institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru
sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
[5] Abu
al-A’la al-Maududi, Muja Tariku al-Tajdid
al-Din wa Ihyaihi, (jeddah: Dar al-suudiyyat, 1985), hlm. 8.
[6] Akar
kata westernisasi adalah west yang berarti barat, orang asia
menyebut orang yang tinggal disebelah barat , yaitu benua Eropa. kata sifatnya
adalah western yang berarti segala
sesuatu yang berkaitan dengan bangsa Barat baik kebudayaan,
pandangan sikap hidup, cita-cita dan nilai. Dengan demikian westernisasi
bisa diartikan pembaratan baik terhadap penduduk suatu negara atau kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar