Kamis, 30 Mei 2013

oksidentalisme


MAKALAH

OKSIDENTALISME

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas METODOLOGI STUDI ISLAM
Dosen pengampu : Dr. Zakiyudin, M.Ag.





Disusun oleh :

1.      Bachrin                                  : 111-11-190





JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
SALATIGA
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar belakang
            Dunia Islam berada dalam zaman keemasannya sebagai pusat peradaban dunia selama tujuh abad, yaitu sejak abad ke-7 sampai abad ke-12. Zaman keemasan ini ditandai dengan antara lain: kemajuan dibidang Ilmu pengetahuan, filsafat dan arsitektur serta keberhasilan dalam memperluas wilayahnya sampai ke Italia dan Spanyol. Kemudian, Italia dan Sepanyol menjadi pusat peradaban Islam di bagian Barat.
            Tulisan ini akan menelaah secara akademis gagasan hanafi tentang Oksidentalisme. Ketertarikan atas kajian ini karena kebaruan atas diskursus Oksidentalisme dalam khasanah pemikiran Islam dan munculnya beberapa komentar yang meragukan terhadap ide tersebut yang dianggap sekedar reaksi emosional.

1.      Rumusan masalah
a.       Pengertian Oksidentalisme
b.      Urgensi Oksidentalisme terhadap Pembaharuan Islam

2.      Tujuan penulisan
a.       Untuk mengetahui pengertian Oksidentalisme
b.      Dan  urgensi Oksidentalisme terhadap pembaruan Islam







BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pengertian Oksidentalisme

Oksidentalisme sebagai dijelaskan dalam “the world University Encyclopedia” berasal dari kata occident yang secara etimologi berarti barat, dan secara geografis adalah belahan bumi bagian barat.
            Berpijak dari makna etimologi diatas, Oksidentalisme yang terdiri dari kata “ occident” (barat) dan “ism” (paham atau aliran) menunjukkan pada suatu paham atau aliran yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia barat; baik budaya, Ilmu dan aspek sosial lainya.
A.Mukti Ali mengartikan Oksidentalisme adalah teori-teori dan ilmu tentang agama, kebudayaan dan peradaban barat.[1]
Selanjutnaya Hanafi mengatakan bahwa Oksidentalisme adalah kebalikan dan lawan dari Orientalisme. Jika objek kajian Orientalisme adalah timur, dan lebih khususnya lagi adalah Islam, maka dalam Oksidentalisme yang menjadi objek kajianya adalah Barat. ini berarti, Hanafi melakukan pembalikan paradigma subjek-subjek dalam Orientalisme, yaitu Timur sebagai subyek dan barat sebagai objeknya.

·         Kelahiran Oksidentalisme

Pada abad 17 sampai dengan abad 18 M. Adalah masa kemunduran bagi dunia Islam. Disintegrasi kekuasaan Islam, hilangnya rasionalisme dan mengentalnya sufisme dalam kehidupan masyarakat Islam merupakan fenomena yang menggenjala dan sekaligus sebagai pertanda bagi kemunduran Islam. Sebaliknya, dunia barat sedang mencapai prestasi di bidang sains dan teknologi.
Sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan dan melepaskan dari cengkraman koloni Barat, dunia Islam, terutama Mesir dan Turki mempelajari kemajuan-kemajuan Barat baik di bidang sains dan teknologi.
untuk itu, beberapa delegasi dan pelajar dikirim ke Barat untuk belajar.[2] Sekitar dua abad Islam berguru terhadap orang barat dalam berbagai hal, namun hal itu belum bisa mengantarkan dunia Islam kepada kemajuan yang diharapkan. Sementara studi tentang pemikiran atau filsafat Barat masih terlalu prematur, sehingga studi tersebut belum memuaskan dan memberi konstribusi bagi khasanah Intelektual Islam. Ketidakpuasan kajian tesebut, setidaknya dapat dilihat dari dua faktor. Pertama, kajian yang ada masih sarat dengan bias dan subjektifitas. Kedua, kajian yang lebih sekadar promosi peradaban orang lain yang kering dari kritisisme.
Setelah dilakukan kajian ulang atau penelanjangan terhadap orientalisme, ia tidak lagi menjadi subjek studi yang menarik. Dampak lainya adalah para pengkaji ketimuaran merasa tidak senang jika disebut orientalisme, tetapi mereka lebih senang disebut, misalnya “Egyptolog”, atau “Islamolog”.
Dengan demikian, orientalisme yang dulunya merupakan kajian yang banyak diminati dan mempunyai metode sendiri, sekarang berubah menjadi objek kajian, yaitu setelah tersingkapnya keburukan-keburukan orientalisme.
Dalam perkembangan selanjutnya, kajian terhadap orientalisme mengilhami studi lanjut akan budaya barat, yang dilihat dari sudut pandang dan prespektif  “selain Barat”. Kajian inilah yang disebut oksidentalisme. Perbedaan oksidentalisme dengan kajian kebaratan sebelumya, seperti studi area atau budaya adalah terletak pada penekanan yang diberikan yaitu faktor subjektifitas timur dalam membaca dan mengkaji Barat.
·         Akar sejarah oksidentalisme
Hanfi adalah seorang ahli pikir yang menguasai tradisi keilmuan Islam klasik dan tradisi keilmuan barat penguasanya tersebut membuat mampu melakukan pembaruan yang komprehensif. Baginya pembaruan dalam Islam, tidak bisa lepas ,dari keberlaluan masa lampau Islam. Disamping itu pembaruan dalam Islam, juga tidak bisa menafikkan keberadaan barat, yang sudah menjadi fenomena perilaku dan pemikiran di dunia Islam.
Barat yang telah hadir di tengah-tengah kehidupan umat Islam dengan berbagai prodaknya membawa dampak positif dan negatif. Dampak negatif itu kemudian menjadi problem bagi kemajuan dunia Islam yang perlu disikapi. Oksidentalisme digagas sebagai bentuk respon terhadap problem berupa tantangan modernitas.
Menurut Hanafi oksidentalisme yang dibangunya mempunyai akar sejarah dalam khasanah keilmuan Islam. karena  hubungan antara dunia Islam dan Barat tidak hanya terjadi pada abad modern, melainkan telah dimulai sejak 12 abad yang silam. Hal itu terjadi ketika ulama’ berhadapan khususnya dengan filsafat Yunani.[3]
Studi oksidentalisme ketika Islam berada pada puncak kejayaanya dan sebagai pusat peradaban dunia. Pada awalnya, umat Islam lebih bersikap pasif dalam mengkaji budaya dan pemikiran yunani. Kajian dalam fase ini, ditekankan hanya untuk mengetahui pemikiran-pemikiran tersebut kemudian dialihbahasakan secara tekstual kedalam bahasa Arab, tanpa melakukan kajian lebih kritis lagi. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi dilakukanya penerjemahan secara tekstual, antara lain; untuk menjaga keaslian bahasa, keterbatasan bahasa Arab dalam memahami tema-tema baru yang tidak dijumpai sebelumnya, dan bangun logika yang belum dimilki oleh umat Islam ketika itu. Karenanya, fase ini disebut dengan dengan masa terjemahan tekstual.
Menginjak  fase selanjutnya, umat Islam tidak lagi menerjemahkan pemikiran Yunani secara tekstual, tetapi secara kontekstual. Artinya upaya tranformasi pemikiran Yunani kedalam Islam lebih ditekankan pada makna yang dikandungnya. banyaknya kosa kata Arab tentang istilah-istalah asing yang dikenalnya, dan semakin pahamnya ulama Islam tentang filsafat Yunani memungkinkan bagi mereka untuk mentransfer pemikiran Yunani secara kontekstual. Pada fase ini istilah-istilah asing diupayakan untuk diganti dengan istilah-istilah Arab, sehingga bahasa Arab semakin kaya akan istilah-istilah filsafat.
Setelah melalui dua tahap di atas, para ulama Islam dalam mengkaji mulai memberi komentar dan penjelasan terhadap teks-teks yang ada. Ini berarti meningkat setingkat tataranya, dari penerjemah menjadi komentator (syarikh).
Fase selanjutnya ulama Islam melakukan kajian filsafat secara tematik, yaitu mengkaji beberapa subjek yang dianggap penting untuk disusun dalam suatu karaya, tahapan ini disebut fase peringkasan (talkhish).





2.    Urgensi Oksidentalisme Terhadap Pembaruan Islam

a.       Pembaruan Islam dalam perspektif  Hanafi

Istilah pembaruan Islam dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa Arab tajdid dan dalam bahasa inggris sering diterjemahkan dengan modernism[4]. Tajdid secara bahasa biasa dipahami ”memperbarui”.
Dalam perkembangan selanjutnya pengertian tentang pembaruan mengalami perkembangan dan perubahan. Berikut ini akan dikedepankan tiga model pembaruan dalam sejarah pemikiran Islam yang masing-masing mempunyai konsep yang berada.
pertama, pembaruan dipahami sebagai upaya untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) tradisi di masa Rasulullah dan masa sahabat.[5] Ini berarti pembaruan dilakukan atas dasar otoritas ajaran (shalat) dan nilai-nilai tradisional.
Kedua, pembaruan diartikan sebagai upaya untuk memperbarui pemahaman terhadap agama yang lama yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Upaya ini dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur baru tanpa merusak bangunan dan inti dari pemahaman yang lama.
Ketiga, pembaruan diartikan sebagai upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Munculnya ide pembaruan tersebut dlatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain: pertama, keinginan untuk menstranfer keinginan prestasi Eropa ke dunia Islam. Kedua, masuknya berbagai paham yang berkembang di Barat  ke dunia Islam. Ketiga, adanya respon dari pemikir Islam terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Corak ketiga  konsep pembaruan diatas sama-sama mengacu pada upaya tercapainya kemajuan pada dunia Islam serta sama-sama berpijak pada Islam. Adapun perbedaan makna pembaruan dikarenakan adanya sudut pandang yang beragam dalam melihat persoalan umat Islam pada satu sisi dan pada sisi yang lain dikarenakan pendekatan yang berbeda dalam memahami Islam, diantaranya ada yang menggunakan pendekatan tekstual dan ada yang menggunakan pendekatan kontekstual serta adapula yang menggunakan pendekatan tekstual dan kontekstual secara bersamaan.
Berpijak pada persoalan tersebut proyek pembaruan Hanafi dirumuskan sebagai jawaban dan modus vivendinya. Pembaruan dari tema pertama dapat diartikan menafsirkan kembali khasanah pemikiran klasik yang tidak sesuai dengan  tuntutan realitas kontemporer umat Islam. pengertian pembaruan untuk tema yang kedua adalah melakukan kajian terhadap barat dalam berbagai hal dari sudut pandang timur. Adapaun untuk tema ketiga, pembaruan dapat diartikan sebagai upaya penafsiran kembali terhadap realita – menyatunya tradisi Islam dan tradisi barat – umat Islam dewasa ini. Demikian pembaruan dalam perspektif Hanafi dapat disarikan sebagai upaya rekontruksi terhadap tradisi Islam dan tradisi Barat yang telah menyatu dan menjadi konstruk kehidupan yang sedang berlangsung.
b.      Urgensi oksidentalisme terhadap pembaruan islam
Oksidentalisme bagian tak terpisahkan dari proyek pembaruan Islam, karenanya perwujudan oksidentalisme sebagai disiplin ilmu yang melakukan kajian terhadap barat secara akademis dan kritis, merupakan suatu keniscayaan. Suatu proyek pembaruan Islam yang menafikan perlunya sikap kritis dalam melihat modernitas Barat dalam bentuk apapun, berarti ia tidak utuh dan komprehensif, dan karenaya ia akan mengalami kegagalan. Karena itu pokok pembahasan ini punya relevansi dalam rangka melihat urgensitas pemikiran Hanafi tentang oksidentalisme terhadap pembaruan Islam.

1.      Oksidentalisme vs westernisme
Westernisasi[6] sebagai mana dijelaskan dalam salah satu sumber adalah upaya yang dilakukan pihak barat untuk meleburkan bangsa-bangsa non-Barat, lebih khusus lagi dunia Islam kedalam peradapan Barat.
Westernisasi secara etimologi dapat dimaknai sebagai alienasi, yaitu berubahnya ego menjadi orang lain. Menurut Hanafi, Oksidentalisme dapat dijadikan filter untuk mengahadapi serangan westernisasi yang sudah meluas wilayah jangkauanya, tidak saja terbatas dalam kehidupan seni dan budaya, melainkan ia sudah masuk dalam tatacara kehidupan sehari-hari.
2.      Oksidentalisme vs Eurosentrisme
Gerakan westernisasi yang dilakukan sejak masa imperialisme hingga sekarang merupakan ambisi Barat Untuk menjadikan dirinya sebagai pusat peradaban dunia. Ambisi realisasi itu mengakibatkan rasa superior barat yang tetap berkeinginan untuk tetap mempertahankan dominasi atas bangsa-bangsa non-Barat.
Dalam konteks ini, oksidentalisme dalam kajianya tentang kebaratan dapat dijadikan sebagai tameng bagi masuknya dunia Barat. Bahkan lebih dari itu, proyek oksidentalisme adalah bertujuan untuk mengembalikan budaya Barat kepada batas-batas daerah jangkaunya yang wajar, karena selama ini budaya Barat telah keluar dari batasan teritorialnya, baik itu lewat usaha kolonialisme, sarana informasi yang canggih, maupun pusat-pusat penerangan dan riset yang terbesar dikenyakan Negeri.
3.      Oksidentalisme: antitesis Orientalisme
Oksidentalisme dalam diskursus pengetahuan ilmu masih relatif baru, dibanding dengan orientalisme yang telah hadir tiga abad lalu. Oleh karena itu, cukup beralasan jika dikatan bahwa kelahiran oksidentalisme sebagai antitesa orientalisme dan dibangun atas dasar logika analog baik secara ontologis maupun aksiologis. Hal ini sebagai tergambar dari penjelasan Hanafi, jika orientalisme melihat ego (timur) melalui the other, maka oksidentalisme melihat the other dari kacamata ego.
Urgensi lain dari oksidentalisme adalah untuk menghilangkan rasa Inferior umat Islam pada satu sisi dan pada superior Barat disisi lain. Umat Islam selama empat abad menjadi objek studi Barat, karenanya lahir rasa inferior, sementara Barat sebagai subjek studi telah melahirkan rasa superior. Bermula dari rasa rendah diri umat Islam dihadapan Barat, mereka dalam melakaukan pembaruan senantiasa menggunakan paradigma Barat. Dengan kata lain transformasi pemikiran Barat ke dunia Islam tidak dilakukan secara selektif dan kritis.

BABIII
PENUTUP
1.    kesimpulan
Oksidentalisme (paham atau aliran) menunjukkan pada suatu paham atau aliran yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia barat; baik budaya, Ilmu dan aspek sosial lainya. Dalam pandangan penulis, studi kebaratan yang mencakup berbagai aspek seperti: studi sejarah, filsafat, budaya, aliran modern dan sebagainya secara umum akan dapat memberikan konstribusiyang amat besar dan berharga dalam pengembangan ilmu-ilmu Islam. Hal ini sebagai ditunjukkan pada masa klasik di mana berbagai ilmu baru lahir dan berkembang. Bahkan Islam sendiri telah mendorong umatnya untuk menggunakan akal dan menelaah secara kritis berbagai disiplin ilmu tanpa terikat oleh batasan geografis, bangsa dan ikatan agama.
2.      Penutup
Di akhir tulisan ini penulis berharap, bahwa studi tentang kebaratan atau oksidentalisme dikalangan umat Islam dapat dikembangkan. Hal ini jtentu haraus didukung oleh adanya akses yang kuat terhadap peradapan Barat modern. Disamping itu, seorang pengkaji Barat atau oksidentalis dituntut pula untuk bersikap objektif dalam melakukan studi kebaratan
            Demikian makalah yang dapat penulis buat, tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis menerima kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun makalah yang penulis buat agar kedepanya penulis lebih baik lagi dalam membuat makalah. Semoga makalah ini dapat menambah sedikit wawasan bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.









DAFTAR PUSTAKA
Ø  Kastolani, Dari orientalisme ke oksidentalisme, Salatiga, cetakan pertama, januari 2009.











[1] A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Nindonesia, (Bandung, Mizan, 1992), hlm. 45.
[2] Syyed Hoesan Nasr, Menjelajah Dunia modern, (bandung: Mizan, 1994), hlm. 125.
[3]Hasan Hanafi,Al-Muqaddimat,op, cit, hlm. 44.
[4] Modernisme di Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usahauntuk merubah faham-faham, adat   istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
[5] Abu al-A’la al-Maududi, Muja Tariku al-Tajdid al-Din wa Ihyaihi, (jeddah: Dar al-suudiyyat, 1985), hlm. 8.
[6] Akar kata westernisasi adalah west yang berarti barat, orang asia menyebut orang yang tinggal disebelah barat , yaitu benua Eropa. kata sifatnya adalah western yang berarti segala sesuatu  yang berkaitan  dengan bangsa Barat baik kebudayaan, pandangan sikap hidup, cita-cita dan nilai. Dengan demikian westernisasi bisa diartikan pembaratan baik terhadap penduduk suatu negara atau kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar